-->
NGx9MGB7Nap6Nax5MaRbNqN7MmMkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE103

Sambey, Sastra Lisan Masyarakat Rejang

rumah adat suku rejang bertanda sumur berada di halaman (foto Benhur sitanggang)

Piamanexplore.com-Sambey merupakan sastra lisan bergenre ungkapantradisional masyarakat Rejang, Bengkulu Tengah, yang sudah ada sejak zaman Pasirah. Keberadaannya di masa sekarang cenderung dilupakan terutama oleh generasi muda.

oleh:Hasanadi Pamong Budaya Ahli Muda

Berbagai teks Sambey yang mangandung makna kiasan tinggal tersimpan dalam memori kolektif warga berusia lanjut. 

Padahal, di masa lampau Sambey efektif digunakan dalam ber komunikasi, sekaligus menjadi penanda kecendekiaan penuturnya.

Pada saat berunding dalam prosesi perkawinan misalnya, Sambey digunakan agar berbagai pihak yang terlibat dapat saling mengerti secara baik.

Masyarakat bersuku Rejang sendiri dianggap sebagai penduduk asli Bengkulu Tengah. Tentunya juga ada warga pendatang di daerah ini, seperti Jawa, Sunda, dan Minangkabau.

Masyarakat Rejang, Bengkulu Tengah, memiliki warisan budaya yang beragam, meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian dan sastra. 

Selain Sambey, dalam konteks sastra lisan masyarakat Rejang, Bengkulu Tengah, juga memiliki Nandei, Geritan, Berdai, Pantun dan Syair (Ab-dullah Sidik, 1980).

Penuturan Sambey dalam konteks sosial budaya masyarakat Rejang menarik dicermati. 

Di masa sekarang hal terpenting yang mesti dilakukan adalah upaya melindungi, memanfaatkan, mengembangkan serta pembinaan masyarakat pendukungnya.

Keempat upaya ini sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan Kebudayaan. 

Di antara tujuannya adalah, pesan kearifan lokal masyarakat Rejang dalam Sambey tetap terwariskan kepada generasi muda, meskipun mereka sudah hidup di zaman milenial.

Ada Sambey indo ro dep i'o ba taai ne, indo ro gung i'o ba keliuk ne (bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya, bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya). 

Pesan kearifan masyarakat Rejang pada Sambey ini adalah kata dan kalimat yang terucap mesti sesuai dengan situasi penggunaannya.

Sikap penutur tentu pula harus seirama dengan konteks komunikasi yang sedangberlansung. 

Syarat yang tidak bisa tidak harus terpenuhi berarti, pandai serta cakap dalam memilih kata dan kalimat, sekaligus responsif dalam menyikapi setiap peristiwa maupun perubahan suasana pembicaraan yang mungkin saja terjadi.

Kemudian Sambey adat coa melkang keno panes, coa mobok nukai ujen (adat tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan). Sambey ini merepresentasikan pemahaman masyarakat Rejang terhadap adat.

Ditegaskan bahwa adat Rejang memiliki kemampuan untuk bertahan. Adat Rejang tidak akan lekang atau justru lapuk oleh derasnya arus perubahan zaman. 

Artinya adat Rejang memiliki sifat 'berketetapan, sehingga diperlukan komitmen masyarakat pemiliknya untuk tetap menjalankan secara paruh.

Selanjutnya Sambey beneak mbeak temambeak, lengan mbeak mapei (yang berat jangan ditambah, yang ringan jangan diabaikan). Sambey ini dituturkan dalam konteks penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi di masyarakat.

Setiap warga yang terbukti melakukan pelanggaran harus dijatuhi sanksi berupa hukuman, tidak boleh ditambah serta jangan pula dianggap enteng. 

Penjatuhan sanksi dimaksudkan agar adanya perbaikan perilaku, sehingga 'penjatuhannya' mesti diterima secara sadar serta penuh tanggung jawab.

Pentingnya keadilan dalam upaya penegakan aturan juga mengemuka sebagai pesan kearifan Sambey beneak mbeak temambeak, lengan mbeak mapei. 

Penegakan aturan mesti dilakukan berdasarkan berat atau ringannya bentuk pelanggaran yang dilakukan.

Ringannya sanksi bukan karena adanya hubungan keluarga antara warga yang melakukan pelanggaran dengan para penegak aturannya. Sebaliknya, beratnya sanksi bukan pula didasarkan pada adanya pesanan pihak tertentu.

Pesan penting lainnya tentu, institusi penegak aturan mesti berhasil membangun kepercayaan masyarakat, sehingga proses peradilan berjalan baik serta tidak memunculkan kecurigaan bagi siapapun.

Lalu Sambey tun meleu diem puluk kelem, tun titik diem beak lekok (orang hitam di tempat gelap, orang kecil di lembah dalam). Sambey ini digunakan sebagai ekspresi kerendahan hati justru disaat memiliki berbagai kelebihan.

Penuturnya adalah orang bijak, sehingga tetap berupaya memperkenalkan diri seolah memiliki banyak kekurangan. 

Kenyataannya tidaklah demikian, si penutur biasanya seorang terpandang dalam lingkungan asalnya, disebabkan oleh harta, pangkat dan ilmu pengetahu yang dikuasai.

Ada pula Sambey bepatet bekenek bejenjang tu'un (bertangga naik berjenjang turun). Sambey ini mengisyaratkan perlunya kepatuhan dalam mengikuti setiap aturan yang telah ditetapkan.

Layaknya menaiki anak tangga atau menuruni jenjang, setiap aturan disusun secara sistematis serta menghendaki kepatuhan dari masyarakat untuk juga mengikutinya secara baik.

Di lain pihak aparat penegak aturan harus pula menjalankan fungsinya berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. 

Masyarakat tidak berpeluang memilih produk aturan tertentu sesuai selera pribadinya dan aparat juga tidak menjalankan aturan berdasarkan kepentingannya yang bersifat sepihak pula.

Juga ada Sambey tajem pedang coa mlilit kelea (tajam pedang tidak melukai batu asahan). Pesan kearifan sambey ini berkenaan dengan perlunya keikhlasan hati dalam mengiringi setiap perbuatan baik manusia.

Keikhlasan hati diperlukan sebagai kekuatan rohani yang bersifat mendorong manusia untuk berbuat baik. 

Keikhlasan hati juga diperlukan sebagai benteng rohani baik ketika suatu perbuatan baik ternyata dibalasi dengan kebaikan atau justru sebaliknya dibalasai dengan keburukan.

foto Beti yuliana
Masyarakat Rejang memaknai kesanggupan untuk berbuat baik tidak ubahnya laksana pedang yang telah terasah secara tajam. 

Hati kemudian diibaratkan sebagai batu asahan, yaitu bagian dari rohani manusia yang memiliki andil besar dalam upaya manusia menebar kebaikan dalam kehidupannya.

Kata masyarakat Rejang, pedang yang tajam saja tidak akan melukai batu asahannya sendiri. 

Pesan kearifannya berarti, manusia sebagai makhluk berakal budi jangan sampai melukai hatinya sendiri dengan berbagai sifat buruk justru setelah berhasil berhasil berbuat baik terhadap orang lain.

Sebagaimana terbaca pada Sambey, istilah tajem pedang mengisyaratkan adanya kesanggupan jasmani manusia untuk berbuat baik. 

Selanjutnya kata kelea, merujuk pada khazanah rohani yang menjadi dasar bagi upaya pemunculan kesanggupan tersebut.

Karena itu, setiap orang yang ter jerumus untuk menggores hatinya justru setelah berbuat baik, dianggap laksana pedang tajam yang tampa disadari telah melukai batu asahannya sendiri.

Bagi masyarakat Rejang, Bengkulu Tengah, goresan luka pada hati setelah berbuat baik sekaligus merupakan bentuk penghianatan terhadap makna keikhlasan yang seyogianya mampu terus disematkan pada setiap perbuatan baik yang dilakukan terhadap sesama. (Sumber Padang Ekspres 4,12,22)

 

Share This Article :
1745663973787222366

Mengungkap Kehidupan Sehari-hari Nelayan di Pantai Pasir Baru Nagari Pilubang Padang Pariaman

Piamanexplore- Nelayan di pantai Pasir Baru tidak hanya berjuang melawan samudra dalam pencarian ikan, tetapi juga melawan waktu. Dalam ar...