-->
NGx9MGB7Nap6Nax5MaRbNqN7MmMkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE103

Sejarah Mengenal Rumah Gadang Suku Nasution Di Alam Minangkabau

Rumah gadang yang termakan usia
Catatan PUAMS

Ini ialah rumah gadang Suku Nasution yang terletak di Nagari Simpang Tonang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatra Barat.

Nagari Simpang Tonang merupakan daerah teritorial etnis Minangkabau sebagai wilayah rantau. Migrasi etnis Mandailing dilakukan secara bergelombang. Tak ada yang mengetahui pasti kapan pertama kali etnis Mandailing bermigrasi membuka nagari ini.

Terdapat perbedaan pendapat dalam penentuan sejarah terbentuknya daerah tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nagari Simpang Tonang ialah tanah ulayat di bawah pimpinan pucuk adat Rajo Sontang, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa Nagari Simpang Tonang di bawah kekuasaan Rajo Dubalang (Raja Gumanti Porang).

Berdasarkan catatan tarombo yang dimiliki oleh beberapa orang natoras/natobang di bagasan ampung Tarombo yang berjudul "Sejarah Asal Usul Nagari Simpang Tonang" yang dibuat dalam campuran Bahasa Mandailing, Minangkabau, dan Bahasa Indonesia dengan gaya bahasa serta ejaan lama dapat dijelaskan bahwa pada zaman dahulu kala tersebutlah sejarah mengenai Raja Pidoli Mandailing Godang yang bergelar Rajo Gumanti Porang.

Dari hasil perkawinannya dengan istrinya yang bernama Mancuom Godang, beliau mempunyai tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Pada masa itu kerajaan Pidoli diserang oleh orang dari Padang Gelugur. Kemudian Rajo Gumanti Porang dan perangkat kerajaan meninggalkan daerah tersebut menuju tempat yang aman.

Maka sampailah mereka ke Lubuk Aro Tarok (di daerah Rao sekarang). Mereka pun berkembang di sana. Di masa kepemimpinan Sutan Bandaharo dilakukankanlah suatu perundingan dengan segenap perangkat desa, anak, cucu beserta kemenakan. Mereka merasa tidak enak terlalu lama menumpang di daerah

orang. Atas dasar kesepakatan yang telah diperoleh, akhirnya Sutan Bandaharo memerintahkan seorang yang gagah berani bernama Dubalang Sirah Dado untuk untuk mencari tanah yang luas dan belum dihuni orang lain.

Dubalang Sirah Dado memulai perjalanannya ke arah barat dari Sontang Panjang. Dari perjalanan naik bukit turun bukit tersebut, ia mendapatkan suatu daerah yang berada di antara dua buah sungai. Di sana ia mendirikan rumah tempat beristirahat. Kemudian melanjutkan kembali

perjalanannya tersebut. Perjalanan dimulainya dari Guo Balang Karau Pisang Hulu Air Papahan Tonang, terus ke Bahudo Kariong, lanjut ke Tinjawan Agam, lalu ke Puncak Gunung Kulabu, dan dari Bukit Tinjowan Koto Rajo hulu Air Tangharang, lalu ke Bukit Ulai dan terus kembali ke rumahnya.

Setelah menemukan wilayah tersebut, maka ia kembali ke Sontang Panjang untuk memberitahukan hal tersebut kepada Sutan Bandaharo. Sutan Bandaharo kemudian membawa perangkat kerajaan beserta anak cucu

kemenakannya untuk melihat daerah tersebut. Mereka tinggal di rumah Dubalang Sirah Dado

yang dibangunnya saat itu. Setelah dinilainya bahwa daerah tersebut layak dijadikan suatu hunian, maka Dubalang Sirah Dado membawa mereka dan menunjukkan bukit-bukit yang dilaluinya lebih dulu untuk dijadikan batas wilayah. Kemudian di saat mereka menjelajah daerah tersebut, mereka menemukan sebuah sungai yang airnya tenang, dari situlah asal kata "Simpang Tonang" diambil.

Pada awal kedatangannya hanya ada dua marga saja yang terdapat di daerah tersebut. Marga Nasution dari pihak Sutan Bandaharo (sekarang dikenal dengan nama Raja Dubalang) dan marga Mais dari pihak Tompu Sereng (sekarang bergelar Saheto Gading). Tidak beberapa lama kemudian datang pula satu rombongan dari daerah Mandahiling bergelar sako Ajaran Tolang (sekarang bergelar Panghulu Mudo) bermarga

Lubis. Mereka mendiami Kampung Tolang Dolok. Kemudian datang lagi rombongan lainnya dari daerah Mandahiling juga bernama Raja Mondang Tahi (marga Lubis) dengan temannya bernama Malin Mancayo (marga Batubara).

Adapun orang-orang tersebut di atas disebut “Induak nan Barampek”, turun temurun

sampai sekarang adalah:

1) Tompu Sereng gelar Saheto Gading sebagai manti; ujung lidah kapalo sambah, anak kunci bilik dalam.

2) Hajaran Tolang gelar Panghulu Mudo; nan akan mengambangkan Payung Rajo.

3) Rajo Mondang Tahi bergelar Sutan Parang; diakui sanak oleh Rajo.

4) Malin Mancayo gelar Gading Raja, nan mahatak manghidang nan kamangagiohkan.

Dengan demikian cukuplah syarat untuk mendirikan Nagari, yaitu: didiami oleh empat suku.

1) Raja Dubalang dengan suku Nasution.

2) Tompu Sereng dengan suku Mais dan Ajaran Tolang.

3) Raja Mondang Tahi dengan suku Lubis

4) Malin Mancayo dengan suku Batubara

Ada tanah ulayat, ada pandam pakuburan, dan ada sebuah pasar tempat berlangsungnya aktivitas perekonomian nagari. Selanjutnya datang pulalah kaum-kaum lain yang kemudian diberikan suatu kampung dan diangkat pulalah penghulunya. Adat yang dipakai di Nagari Simpang Tonang sesuai dengan adat Minangkabau, yakni "adat salingka nagari".

Berdasarkan uraian tarombo asal-usul terbentuknya Nagari Simpang Tonang tersebut,

maka dapat dipahami bahwasanya nenek moyang Alak Pangtonang ialah para imigran yang berasal dari Mandailing. Imigran tersebut datang secara mengelompok dalam beberapa tahap. 

Para pendatang tersebut berusaha untuk menjadi “Minang” dengan mengganti adat-istiadat yang mereka bawa. Meskipun daerah ini termasuk wilayah rantau Minangkabau, pada saat itu belum ada penduduk yang menghuninya.

Daftar Pustaka:

Sandi, Deka Maita. 2019. Alek Pangtonang. Identifikasi Diri Etnik Mandailing di Nagari Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman (2000-2018). Jurnal Education and Development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan, 7 (2), 274-279.


#piamanexplore.com

Share This Article :
1745663973787222366

Mengungkap Keindahan dan Pesona Agrowisata Payo Surga Di Puncak Kota Solok

Piamanexplore- Pengembangan potensi pertanian kini menjadi lebih luas, seperti yang diterapkan Pemerintah Kota Solok dengan mengembangkan Pu...